March 4, 2012

Uri.. Chingu yeo :)

Pertama kali aku mengenalnya adalah saat aku masuk ke bangku perkuliahan. Ia seorang yang tidak banyak bicara, cantik tetapi jarang tersenyum dengan seseorang yang baru di kenalnya. Saat itu ia bahkan terkesan agak cuek dan galak. Tapi lalu kami saling berkenalan. Untuk pertama kalinya aku memiliki teman yang bisa aku percaya selama aku pindah ke Jakarta.

Ia seorang teman yang walaupun sudah tidak lagi berada di satu kelas denganku, tetap mau menyapa dan mencariku. Ia seorang yang sampai detik ini masih menyampaikan hal-hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada orang lain, kepada ku. Teman yang mampu ku percayai selama aku berada di Jakarta.

Aurel Cuwanda.

Aku mengetahui sakitnya pertama kali saat kami berada di semester dua. Ia tidak gemuk, tetapi cukup berisi. Berambut panjang coklat yang akhirnya di cat hitam legam olehnya. Ia tidak banyak mengeluh kepadaku. Walau terpisah jarak kelas, kami sering berhubungan lewat kontak telpon. Tidak ada yang salah sampai saat ia mengatakan ia harus di operasi. Ia membuatku terkejut setengah mati saat ia tidak lagi mengendarai motornya seperti biasa, melainkan di antar oleh kakak perempuannya. Ia mengatakan kepadaku ia harus menjalani operasi usus buntu.


Saat itu karena keterbatasan daerah Jakarta yang ku ketahui, aku tidak mampu menjenguknya di rumah sakit. Aku hanya bisa berdoa untuknya. Untung ada Juan, kekasih Aurel yang hanya ku kenal lewat foto, setia menemani Aurel. Ia seorang pendiam yang tidak terkalahkan oleh siapapun, aku tak mampu menaklukkan Juan menjadi temanku.

Aurel banyak bercerita denganku. Setelah kesembuhan usus buntunya, ia tidak lagi takut makan apapun. Ia mengatakan sebelumnya bahwa perutnya bagian kanan sering sakit saat ia sedang berjalan, atau duduk. Terkadang ia merasa tidak lagi dapat menahan rasa sakit itu sampai harus berguling di kasur sambil menangis. Aku mengerti ia kesakitan.

Tidak lama setelah ia melakukan operasi usus buntu, Juan memutuskan dirinya. Hubungannya hampir beranjak empat tahun. Tidak ada lagi rasa sayang dalam diri Juan yang sangat tertutup. Juan sendiri mengaku membenci dirinya sendiri karena ia tidak lagi mampu menyayangi Aurel, setelah sekian lama rasa sayang itu di pupuk keduanya. Aurel akhirnya menerima keadaan itu walau aku tau ia sangat sakit dan terpukul.

Sekarang, setelah aku memasuki semester empat, lagi-lagi Aurel mengejutkan ku dengan sakit yang di alaminya. Kali ini aku jauh lebih takut. Jauh. Jauh. Jauh lebih cemas. Ia mengalami sakit kepala berkelanjutan. Sudah lama. Sejak semester tiga ia mulai merasakan sakit kepala yang tidak wajar. Aku masih sempat memarahinya karena ia terlalu stress saat mengalami ujian atau mendekati ujian. Memang aku juga mengalami hal yang sama, tetapi tidak pernah sampai seektrim dirinya. Ia begitu ketakutan saat ujian tengah semester maupun ujian akhir tiba. Berkali-kali aku menasehatinya tetapi sulit untuk merubah cara pikirnya yang ku rasa terlalu berlebihan.

Ia bercerita kepadaku tentang ketakutannya saat ia salah memilih penjurusan yang akan kami lakukan di semester lima nanti. Ia tidak ingin salah mengambil langkah, dan lagi-lagi ia menangis karena stress. Di balik kegalakan dan keras kepala yang ada pada dirinya, ia seorang yang rapuh. Ia butuh tempat untuk bercerita dan bersandar, dan bukan hanya sekedar sahabat. Ia butuh seseorang, yang tidak lagi bisa menemaninya.

Beberapa hari yang lalu, Aurel menghubungiku. Ia mengatakan dengan tegas, ia ingin meninggalkan bangku perkuliahan. Ia akan pergi ke Penang minggu depan karena sakit kepalanya makin bertambah parah dan tidak ada lagi obat yang mampu membuat rasa sakit itu hilang, walau hanya sekejap. Ia merasa kesakitan dan matanya mulai merabun. Ia merasa seperti ada kabut yang menutupi pandangannya. Ia bahkan tidak mampu pergi ke kampus. Ia tidak mampu berdiri terlalu lama, karena sakit kepala itu akan mengguncang dirinya dan ia akan jatuh.

Aku ketakutan. Ia temanku. Ia sahabat baikku yang mampu membuat diriku mampu beradaptasi dengan kota Jakarta. Ia mampu menjadi sahabat yang tidak bisa selalu bersama dengan ku di kota ini. Aku kehilangan sosok itu.

Aurel sempat melakukan pengobatan alternatif untuk membuat dirinya sembuh dari sakit kepala itu, dan ia di sarankan untuk melakukan operasi gigi. Tiga buah gigi harus ia cabut segera untuk dilihat, apakah sakit itu berasal dari saraf gigi. Tapi nihil. Yang ada hanyalah, Sakit di kepalanya menjadi lebih parah dua kali lipat.

Ia berkata, sudah tidak mau lagi menyulitkan kedua orangtuanya. Sakit yang ia alami membuat kedua orangtuanya harus meronggoh kocek yang tidak sedikit. Di awali dengan usus buntu yang menghabiskan belasan juta. Dan sekarang, ia bahkan harus di larikan ke Penang untuk melakukan pengobatan. Semua dokter yang ia temui tidak menemukan hal ganjil pada dirinya. Scan otak yang ia lakukan tidak menunjukkan adanya keganjalan. Ia normal, dan sehat.

Entah apa yang terjadi. Aku hanya mampu menerima kenyataan bahwa Aurel tidak lagi bisa menemaniku di bangku perkuliahan. Aurel sudah memutuskan, apapun hasil diagnosa yang keluar, ia akan berhenti kuliah. Ia tidak lagi mau menyusahkan kedua orangtuanya. Ia tidak lagi mau membiarkan kedua orangtuanya merasa terbeban karena harus membiayai kuliah yang tidak murah. Aku berusaha merubah cara pandangnya akan hal itu. Ia sudah setengah jalan. Ia tinggal maju kurang lebih satu setengah tahun lagi untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku menolak hal itu mentah-mentah. Tapi ia mengatakan hal yang tidak bisa aku bantah.

“Gelar bisa di beli. Gelar tidak lagi menjamin bahwa kamu atau aku, akan mendapatkan pekerjaan yang pantas dan layak. Dan aku tidak bisa membiarkan diriku bertambah sakit hanya demi mencari gelar tersebut. Aku memang sangat menyayangkan diriku harus berhenti, tapi kamu tidak tau rasanya. Maaf. Mungkin ini terlampau kasar, tapi kamu tidak merasakannya. Kamu hanya tau bahwa aku sakit, tidak lebih. Tapi aku yang merasakan sakit itu. Aku hanya berharap, dua tahun kedepan, saat aku mengetahui teman-temanku lulus dan mempunyai gelar, aku juga sudah sukses dengan usaha dan pekerjaan yang ku miliki.”

Aku hanya bisa meneteskan air mataku. Walau mungkin hanya dua tahun pertemanan kami, aku sangat mempercayainya. Ia sosok yang mampu menasehati dan memberi masukan kepada ku. Ia orang yang bisa membagikan segala sesuatunya kepadaku. Ia baik. Ia menjengukku walau setelah aku keluar dari rumah sakit kemarin. Ia membawakan minuman kesehatan untukku dan meminta maaf karena tidak bisa datang menjengukku.
Dan aku, akan kehilangan sosok itu.

Kami sama-sama berjanji bahwa mundurnya ia dari bangku perkuliahan tidak akan menghilangkan persahabatan yang kita jalin selama dua tahun kami saling mengenal. Ia dan aku masih bisa berbagi segala macam cerita dan keluh kesah yang kita alami bersama. Ada pertemuan juga ada perpisahan. Mungkin itu yang harus selalu ku ingat. Tapi Aurel Cuwanda, tetap sahabat baikku.

Dear Cuwa,
Cepat sembuh teman. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Merindukan betapa kita sama-sama tidak menyukai dosen atau mata kuliah yang di berikan. Rindu akan cerita-cerita gila saat kita di paksa untuk membuat sesuatu yang tidak kita suka. Presentasi dan berbagai macam kerjaan kuliah yang bisa di jadikan bahan pembicaraan.
Kamu mengalami kesakitan yang mungkin dengan keluarga sendiri tidak mampu kamu bagikan. Aku mengerti semua keadaanmu. Aku mengerti bahwa dengan berhentinya dirimu dari bangku perkuliahan adalah keputusan yang paling baik yang bisa kamu ambil saat ini. Semoga hasil pemeriksaan di luar negeri tidak membuatmu harus menginap lama di sana. Semoga kamu dapat kembali ke Indonesia dengan cepat dan sehat, sesehat-sehatnya. Semoga tidak ada hal yang membahayakan, dan sepulangnya kamu nanti dari sana, kamu bisa melanjutkan aktivitas keseharianmu dengan baik.
Lekas sembuh kawan. Aku menunggu kabar baik darimu.

Dari,
Sahabat yang sangat mencemaskan dirimu

Template by:

Free Blog Templates